Passing the torch

Untuk mereka,

Catatan yang penuh coretan

Buku pelajaran yang bertumpuk di pojokan

Jas lab yang bergantung lima tahun lamanya

Bersama dengan beribu pesan

Pengalaman dan cerita

Lakukan dan jangan lakukan

Tampaknya wajah itu aku mengenalinya

Bahagia dan lelah

Harapan dan Idealisme

Namun, diri disini bagai berhenti mencari

Habis berusaha

Kehilangan alasan

Maaf.

A day as Medical Student, A lifetime of struggle

struggle – verb

struggled; struggling ˈstrə-g(ə-)liŋ 

1 to make strenuous or violent efforts in the face of difficulties or opposition

2 to proceed with difficulty or with great effort

…………………………………….

“boleh mau pinjem jakunnya kak?” ucap dua anak peserta kegiatan workshop a day as a medical student dalam rangkaian HUT IMERI ke 6 tahun. Mereka mau berfoto di depan gedung putih FKUI salemba, hal sama yang aku lakuin 4 tahun lalu. How time goes by, how much i’ve grown.

Hari ini aku berkesempatan menjadi Liason Officer (LO) teman-teman peserta acara tersebut. Menemani sekitar 30an anak SMP-SMA tur ke berbagai departemen di IMERI FKUI dan melakukan simulasi se-akan-anak menjadi mahasiswa kedokteran. “Jujur ga pede” ucap aku ke temenku, sebut saja E, sehari sebelum acara itu. “Ga pede” in a way aku gak merasa cukup pantas merepresentasikan seorang mahasiswi FKUI. Walaupun begitu ada satu alasan aku tetep daftar jadi LO: pengen melihat wajah-wajah bahagia, excited, dan semangat adek-adek SMA untuk masuk FKUI dan semoga diprosesnya bisa ketularan. I need that strength.

Sekitar jam 08.00, tur dilakukan dimulai dengan simulasi Team Based Learning (TBL) mengenai kasus COVID-19. Setelah melakukan absensi peserta aku menyempatkan melihat sedikit apa yang dilakukan peserta saat TBL tersebut. Ternyata lumayan menantang ya soal-soal yang dibuat oleh departemen medical education. Selama ini TBL yang pernah aku lalui kebanyakan lewat zoom dan biasanya aku sambil setengah tidur. Cuman pernah sekali TBL yang bener-bener offline dan seru, yaitu pas modul klinik terakhir, modul infeksi tropis, semester lalu.

Kemudian tur beralih ke “praktikum anatomi” atau setidaknya mirip seperti praktikum anatomi. Di tur ini peserta melakukan simulasi praktikum anatomi di I-Museum IMERI, didahului dengan kuliah pendahuluan dan mengobservasi sediaan yang ada. Agak lucu melihat wajah-wajah kosong anak SMP-SMA belajar terminologi dasar anatomi, lucu karena sama dengan wajahku saat kuliah pertama, hari pertama, tentang anatomi di FKUPNVJ. Terminologi latin yang dulu harus aku warnai gambarnya dengan pensil warna sekarang sudah bagaikan makanan sehari-hari. Kelompok pesertanya dibagi-bagi jadi kelompok yang lebih kecil lagi dan tiap kelompok mempelajari satu sistem organ spesifik. Membaca tilikan tiap kelompok aku cuma kepikiran, “wah, ternyata aku udah sempet belajar semuanya ya”. Kelompok-kelompok kecil itu dibimbing oleh anak FKUI angkatan dibawahku yang memberikan penjelasan tentang tiap sediaan yang ada. Sekitar semester lalu pun, aku pernah jadi guide di I-Museum membimbing anak-anak maba FKUIN, even tho tbh, aku ga segitu ngerti dengan apa yang aku jelasin.

Tur lalu berlanjut ke DLKC, lt.10 IMERI, pada dasarnya perpustakan. Aku kurang merhatiin peserta ngelakuin apa disini tapi kayaknya berkaitan dengan cara pencarian literatur medis. Hal yang nggak terlalu aku sukain sampe sekarang.

Jam 13.00, setelah istirahat siang, tur berlanjut ke salah satu bagian favoritku sebagai mahasiswa FK: Simulasi KKD/Skills lab di SIMUBEAR IMERI. Disini peserta belajar cara pemasangan NGT, cara pemeriksaan DJJ, Leopold, dan Asuhan Kelahiran Bayi. Selain itu, ada banyak alat-alat atau manekin yang super hightech untuk segala latihan tindakan medis. Walaupun horror dan sport jantung, jujur ujian KKD ini atau OSCE adalah ujian yang paling aku sukai selama di FK.

Terakhir, ada sesi departemen center of learning yang membahas mengenai optimalisasi online learning pada sistem pendidikan FKUI. Peserta diberi pemahaman mengenai konsep andragogi serta melakukan simulasi interactive online learning. Sebagai angkatan COVID dan full online, I couldnt relate more dengan apa yang dibahas.

In conclusion, it was a fun day, tiresome but happy indeed. Selain harus menggiring anak-anak cilik bulak balik naik lift dan tangga IMERI, sisanya LO cukup duduk manis menunggu peserta selesai kegiatan di tiap-tiap pos. Aku juga berkesempatan ngobrol dan sharing-sharing tentang sistem pendidikan FKUI secara umum dan pengalaman masuk ke FKUI. Selama kegiatan, sangat menghibur ngeliat muka-muka peserta yang tadinya semangat, berubah jadi pusing, bingung, tertarik, dan lelah. Mereka cuma sehari loh jadi mahasiswa FK, gimana kita yang setiap hari.

…………………………………….

It’s not always rainbow and roses, It’s more like a lifetime of struggle. What importances is to remember your “why” when all hope is lost. The thing is.. I kind a lose that reason for a while

“Siapa disini yang masuk FK karena disuruh orang tua?”, entah udah berapa kali aku denger pertanyaan ini dan tiap kalinya aku gak pernah tunjuk tangan. Karena memang gak ada yang pernah maksa aku disini kok. Aku berjuang untuk masuk karena benar-benar aku ingin menjadi dokter yang bisa bantu orang banyak, karena aku tertarik dengan fisiologi tubuh manusia, karena yaa.. ini FKUI, siapa yang gak mau masuk. Atau, iya kah?

Just recently, I’ve coming to terms that.. oke, emang kamu masuk FK karena motivasi internal, but how about your need of your mother affirmation? there must be a bit of that too isn’t it?. And that.. how I lost it:

Kamu beneran mau jadi dokter apa gara-gara ibu mu?; Kamu mau lanjut PPDS?; segini aja udah mau meninggal terus kedepannya gimana? gabakal jadi lebih gampang loh; Emang ada potensi karirnya?; Mau work-life balances kayak apa?; Mau ngabdi terus?; Capek loh, yakin?; Jadi dokter susah; Kamu gak pinter -pinter banget; Sama sekali gak berprestasi; Gak bisa ngomong; Gak ada paras; yakin mau jadi dokter?

All of that, on and on again, in my own head. No one pressuring me, other than me. Until it comes to: “buat apa sih ngusahain apa yang emang gabisa diusahain”. Which is absolutely a stupid logic, but hey our minds are weird anyway.

So here it is, me searching for my “why again” to keep going, to not drown: Aku mau membantu orang lain. Aku mau bisa menyembuhkan pasien. Aku mau jadi dokter ternama. Aku mau menemukan ground breaking treatment or somesort. Aku mau sukses. Aku mau membanggakan orang tua. But, the only one that really sticks is: Aku gak mau mengecewakan diriku yang berfoto di depan Gedung Putih FKUI itu di tahun 2019.

Apapun yang sudah terjadi, the highs and the lows, it carves who you are now and the struggle will not end, so the only option is keep going. Udah banyak banget materi kedokteran yang kamu pelajari, berbagai kegiatan kemahasiswaan yang kamu ikuti, teman-teman yang kamu temukan, guru-guru/dosen-dosen yang walaupun mereka gak inget namamu ilmunya sangat berharga. So, don’t waste that.. please.

…………………………………….

Kalo bisa ngomong ke peserta acara hari ini, aku bakal bilang “gak usah dek, tidak seindah yang dibayangkan”. Tapi aku gak tega, melihat senyum itu, di depan gedung putih itu, jakun itu, aku pernah bermimpi juga. So, ini saatnya menghidupi mimpi itu.

o-be-ci-ty and my self worth

“eh nu, gw bingung deh gimana caranya bisa makan banyak.. badan gw kecil banget”, celetuk temenku pas kita lagi nugas bareng.

Reaksiku? ketawa dalam hati. 

Ketawa habis-habisan, karena 2 hari sebelumnya aku habis lihat temanku yang lain minum obat fat blocker dan ngomong “aku gendut banget” di depan aku yang jelas-jelas 10 kg lebih berat dari dia.

……………..

Aku sampai bingung mau mulai dari mana, apakah tentang hubungan obesitas dengan risiko kualitas hidup penderita, atau tentang stigma obesitas di masyarakat, atau tentang obesitas dan kesehatan jiwa? Apapun diantara topik itu yang dibahas, yang jelas tulisan ini untuk diriku sekarang yang selalu membenci diri ketika melihat ke cermin dan diri kecilku yang lalu yang selalu berbahagia tidak peduli dengan ukuran kaos yang dipilih. Tulisan ini juga untuk perempuan lain yang selalu merasa tidak pantas seberapa kecil atau besar ukuran celana yang dipakai.

Aku tidak selalu gendut, sekitar umur 4-5 tahun badanku kecil sekali, anaknya sakit-sakitan dan sulit sekali makan. Masuk SD, nafsu makanku bertambah, udah lebih sehat, dan berat badanku bertambah. Aku mulai sadar dengan tubuh sendiri itu ketika umur 10 tahun ketika ada pelajaran mengenai perbedaan biologi perempuan dan laki-laki dan merasa ada yang beda dari diriku umur 11 tahun. 11 tahun aku menstruasi pertama dan berat badanku bertambah drastis, istilah medisnya “growth spurt”, tapi waktu itu ibuku cuma bilang aku gendutan. Aku mulai berhenti sarapan, makan siang sedikit, dan puasa dari umur 11 tahun. It doesn’t work, aku jadinya malah jajan lebih banyak dan gak pernah diajarin konsep apa itu makan sehat dan seimbang. Umur 13 tahun, beratku 62 kg. Aku ingat, ketika ada cek kesehatan sebelum naik gunung, umur 13 tahun, teman-temanku gak ada tuh yang mau naik timbangan padahal jelas-jelas mereka beratnya jauh dibawah aku. Mereka berisik tidak mau jadi yang paling pertama naik timbangan. Kesal, aku naik timbangan duluan dan mereka langsung diam melihat beratku yang 20 kg lebih dari mereka. Anehnya, beratku stabil diantara 62-65 kg dari umur 13 tahun sampai umur 17 tahun. Bertahan, sampai aku harus mempersiapkan dan masuk kuliah. Sekarang, umur 22 tahun beratku pernah hampir mencapai 80 kg.

Lalu, kenapa sekarang? kenapa sekarang baru bicara?. Rasanya karena aku sudah terlalu lelah untuk mengasihani diri, sudah terlalu capek untuk merasa tidak pernah cukup, dan terlalu tersakiti dengan kata-kata orang terdekat sendiri. 

Sekarang, aku gak bisa berhenti memikirkan tentang berat badan, bentuk tubuh, apa yang harus dimakan, apa yang tidak boleh dimakan, olahraga apa hari ini sepanjang 24/7. 

Sekarang, rasanya aku selalu mendengar kata-kata orang mengomentari tubuhnya sendiri didepanku dan it’s hella triggering. 

Aku cuma mau bilang ke diriku yang lalu dan sekarang, “yes you are hurt, it’s okay to feel sad, and lets be better together“. Aku pernah dengar suatu paradox “untuk menjadi lebih baik, maka harus menerima kondisi saat ini terlebih dahulu” and here it is.

for my 11th years old self:

it’s okay, you are gaining weight, it’s just a sign that you are growing and developing

for my 13th years old self: 

Yes, your best friend is struggling and has an eating disorder and it’s okay, it’s not your responsibility to fix them.

for my 18th year old self: 

Yes, you are having difficulty finding your position in this life, where are you and where are you going. You are having difficulty studying to enter university and you don’t even know how to survive a university life. You feel alone and food is your only friend. It’s okay, it’s the only way you know how to survive.

for my 20th years old self: 

Yes, your family emotional state is a trainwreck and you tried your hardest to keep a hold of everything. It’s okay to take care of yourself too.

for my 22th year old self: 

Yes, your mother’s words are hurting and her affirmation is scarce. Yes, your father’s love feels lost and he almost never had time for you. And yes, you keep comparing yourself to a million people out there that have more accomplishments than you. 

It’s okay, I just I want you to know that the love comes within and you will feel liberated once you stop caring for other affirmation

The Broken Promise

Three years, holding things in for that long

Didn’t realize it, but it crushed me

The girl that promise to take care of herself

Instead, take a destruction path

Here, working to mend what was lost

…………..

Journaling selalu ada di poin teratas to do list ku dan yang selalu ku hindari.

I guess, sekarang saatnya memulainya lagi.

Terlalu takut untuk bersalaman dengan diri, menerima perubahan dan apa yang bisa aku menjadi. Terlau lama berteduh, ternyata banyak ya badai yang dilalui. Terlalu sering berjalan diatas tali tipis, berharap tidak goyah.

Untuk berkata, “sudah, relakan” tidak semudah yang dibayangkan. Untuk menepati janji menjadi yang versi terbaik diri diantara bintang-bintang lain, tidak seringan yang dikatakan. Untuk jujur pada hati saat tidak ada yang melihat, tidak selancar yang diinginkan.

Janji ini untuk memulai baru. Kepada anak perempuan itu yang berjanji untuk menjaga dirinya dan untuk kepada anak yang sama yang tidak baik-baik saja. I’ll write again. Pengalaman, kekecewaan, patah hati, kegembiraan, sukacita, perjuangan, kesedihan, kesendirian, dan bagaimana kita sampai sini.

Semoga, kita bisa menuju destinasi yang lebih lapang.

Kesempatan Kedua, FKUI 2020

Aku Rumaisha Nuha Zakiyyah, biasa dipanggil Nuha. Semester ini duduk di tingkat 1 mahasiswa kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Sebagai lulusan Sekolah Alam Indonesia, sekolah swasta nonkonvensional di Cipedak, Jakarta Selatan, rasanya tidak nyata  bisa menginjakan kaki di kampus dan jurusan  idaman ini. Buah perjuangan selama dua tahun, hingga akhirnya dapat membuka pengumuman SIMAK reguler UI dan mendapat kata SELAMAT.

Sejak dulu, UI memang tujuan tempat kuliahku, no question asked. “Lokasinya dekat dengan rumah, banyak pohon dan luas kampusnya” kataku saat umur 14 tahun. Memasuki kelas 12 pandanganku akan UI berubah, lebih fokus ke FKUI. Aku menetapkan hati untuk mengejar bangku kuliah di FKUI. Bagiku jika ingin mengemban pendidikan sebagai dokter maka kampus mana yang paling baik untuk melakukannya. Aku melihat bahwa FKUI mempunyai lingkungan yang beragam, kesempatan yang luas, dosen-dosen terbaik dan segala media pendukung untuk kegiatan pendidikan yang optimal. Keinginan ini semakin kuat ketika mengikuti Open House FKUI 2018.

Di kelas 12 pula, aku menentukan tujuanku. Tujuan yang akan penuh pengorbanan dan waktu yang lama. Aku menentukan untuk menjadi dokter, cita-cita paling cliché dengan tujuan menjadi orang bermanfaat. Namun, ada makna lebih dari itu. Salah satu memori kecilku adalah menemani ibu di klinik. Memerhatikannya berinteraksi dengan pasien dan ikut membantu menyiapkan obat, lebih sering malah ngerecokin sih. Sejak saat itulah aku menginginkan untuk mengikuti jejaknya, seorang dokter yang cerdas, sabar dan mampu memberi dampak dalam komunitas. Ditambah lagi, aku merupakan anak yang selalu penasaran. Tubuh manusia selalu menantangku untuk mencari pengetahuan baru dan memicu rasa ingin tahu.

Bagiku,  menjadi dokter merupakan lebih dari karir tapi juga merupakan misi hidup. Mendedikasikan waktu belajar dan bekerja untuk mengabdi pada kemanusiaan. Bekerja demi kebaikan dan menjadikan setiap detiknya ibadah. “Jadi dokter itu hidupnya susah, sekolahnya lama, gajinya kecil” ibuku mengingatkan. Aku rasa itu risiko yang harus dijalani.

Usaha itupun ku lakukan. Tahap satu, masuk fakultas kedokteran. Yaa.. gimana jadi dokter kalau masuk sekolahnya aja belum. Jujur, selama di SMA pemahamanku akan materi sekolah (Matematika, Fisika, Biologi, Kimia) hampir nol. Pelajaran di sekolahku lebih project oriented dan jarang membahas materi sekolah pada umumnya. Maka, kelas 12 awal aku pun mengikuti bimbel. 

“Ada 2 tahun pembelajaran yang harus dikejar, belum lagi persiapan ujian masuk universitasnya.. rasanya sulit” pikirku. Tapi, aku gak akan tau bisa atau tidak tanpa mencoba kan? Jadi rutinitas bimbel 3 kali seminggu sampai jam 9 malam pun kumulai. Mempelajari dari awal, awal banget kayak pemfaktoran, tabel periodik, metabolisme dan lain-lain. Sepanjang proses belajar, aku selalu berusaha untuk menanamkan growth mindset. Pemikiran bahwa suatu kemampuan siswa dapat berkembang asal mau berusaha, itu selalu menjadi penyemangatku dalam menghadapi kesusahan dalam memahami materi atau saat nilai tryout jeblok. Aku berusaha untuk mengingatkan diri bahwa setiap kesalahan merupakan bukti dari berproses.

Masuk ke semester 2 kelas 12, pemahamanku mulai meningkat nilai tryout juga sudah bukan yang paling bawah. Melewati ujian yang bertubi-tubi, tujuan dan usahaku diuji. Tidak jarang aku merasa meragukan diri atau lelah membaca materi. Apalagi, saat intensif ujian masuk perguruan tinggi 2 bulan sebelum SBMPTN dan SIMAK 2019.

Waktu-waktu ini tingkat stressku sangat tinggi, menutup diri dengan teman terdekat dan hanya berkutat dengan soal-soal. Terus menerus belajar, kesehatan fisik dan mental diriku bukan prioritas utama, suatu hal yang seharusnya tidak dilakukan. Tapi wajar sih, ujian ini akan menentukan masa depan apakah aku bisa mengemban ilmu di tingkat selanjutnya atau tidak. Apakah aku dapat meningkatkan kapasitas diri dan mendapat ruang di dunia pekerjaan atau tidak. Beruntung, aku punya support system yang baik. Guru-guru di bimbel selalu mengingatkan apa tujuan dari semua usaha belajar ini. Keluarga di rumah paham betul posisiku dan selalu menghibur. Orang tua tidak menumpukan beban jurusan atau universitas, mereka percaya dengan apapun pilihanku.

Satu persatu hari-H ujian datang. Aku melakukan setiap ujian sebaik mungkin, walaupun saking nervousnya setiap pagi sebelum ujian pasti sakit perut. Aku beruntung dapat mendaftar ke banyak ujian, mencoba jalur SBMPTN, SIMAK reguler, SIMAK KKI, dan Ujian Mandiri beberapa universitas lain. Aku tahu kemampuanku, aku bukan siswa terpintar, oleh karena itu aku butuh chances yang besar agar dapat lulus di fakultas kedokteran universitas manapun.

Musim pengumuman kelulusan perguruan tinggi 2019 mendatangkan perasaan campur aduk. Sebagian besar usahaku terbayar, sebagian besar lain juga tidak. Membuka pengumuman satu per satu. Tahun 2019, dari semua ujian yang kuikuti aku sangat bersyukur diterima beberapa jurusan dan universitas yaitu FK UPNVJ jalur SBMPTN, FTL UI jalur SIMAK reguler, FK UIN jalur mandiri, dan FK UI KKI jalur SIMAK KKI.

Ya, FK UI. 

Ada rasa bangga dapat mencapai yang kuimpikan, namun ada rasa sedih yang mendalam. Ketika ujian wawancara SIMAK KKI aku ditanya oleh pewawancara, apakah akan memilih UI daripada UPNVJ jika diterima FK KKI. “Ya, pasti UI” jawabku saat itu tanpa ragu. Saat daftar ulang, aku ingkar.

Mengapa aku tetap melanjutkan mengikuti ujian wawancara SIMAK KKI jika memang pada akhirnya tidak diambil? aku egois, egois ingin mengejar mimpi walaupun tahu mimpi itu terlalu mahal untuk diraih. Aku bahkan sudah masuk grup angkatan 2019 dan berbicara dengan kakak tingkat FKUI 2018. Sayang, ini bukan jalanku.

Realisticly speaking, ada beberapa alasan mengapa aku memilih FK UPNVJ dibandingkan FK UI KKI setelah mendapat pengumuman. Satu, aku tidak ingin memberatkan kedua orang tuaku walaupun mereka menyanggupi penuh apapun pilihanku. Dua, aku mempunyai banyak pilihan alternatif kuliah. Terakhir, aku merasa tidak dapat mempertanggung jawab masa depanku di FK UI KKI. 

Hatiku gundah, biarlah Allah swt yang mengarahkanku pada rencanaNya yang terbaik. 

Satu semester kemudian aku jalani sebagai mahasiswa FK UPNVJ 2019. Aku mengikuti dari mulai ospek, mabim, dan kegiatan pembelajaran. Harus berenang di kehidupan per fk-an, aku melupakan FK UI. “Mungkin disini tempatku.. jadi dokter tidak peduli universitasnya, yang penting kualitasnya” sampai sekarang pun aku masih meyakini ini. 

Tidak ada yang salah dengan FK UPNVJ 2019, pembelajaran lab sangat menarik, IPKku bagus, dan teman-temanku seperti keluarga. Aku belajar banyak disini. Namun, diselipan kegiatan kuliah sering kali muncul pemikiran mempertanyakan keputusanku. Aku tahu apa yang kupilih sudah kupilih dan aku hanya dapat melangkah maju, tetapi bohong kalau aku bilang tidak ada rasa sesal sedikit pun melepas FKUI.

Rasanya ada yang sangat mengganjal. Ya, mimpi itu yang ditinggalkan.

Maka, semester 2 bertepatan dengan masuk blok klinis pertama, aku mulai belajar lagi materi ujian masuk universitas. “Tidak ada salahnya kan mecoba lagi, lagipula seberapa besar sih kemungkinannya lolos”. Selain itu, aku ingin mencari ridha orang tua. Ibuku adalah orang tersedih ketika aku memutuskan tidak mengambil FK UI KKI walaupun ia sangat mengerti dan menghormati alasan keputusanku. Hanya karena doanya juga, aku bisa di posisi ini.

Satu kata untuk merangkum kuliah kedokteram sambil belajar SBMPTN/SIMAK : Nangis. Nangis banget atur waktunya, nangis banget capeknya, nangis banget motivasinya.. but I guess I endured.

Hari senin sampai jumat kuliah full day dari jam 7 pagi dan seringnya pulang jam 7 malam, belum lagi tugas. Kalau senin dan rabu pasti ada tugas tutor, sisanya ada tugas lab. Juga biasanya ada kegiatan kemahasiswaan sampai larut malam. Tidak ada ruang untuk belajar SBMPTN/SIMAK kecuali weekend. Maka sedikit waktu yang kupunya, kupakai sebaik-baiknya.

Oiya, aku tidak melepas kuliahku demi mengejar ujian masuk universitas lagi. Skala prioritasku kuliah masih pertama, diikuti belajar SBMPTN/SIMAK, dan terakhir kegiatan kemahasiswaan. Mengapa? Karena aku lebih ingin jadi dokter daripada jadi mahasiswa UI. Walaupun aku tidak naïve, aku tahu UI membawa kesempatan yang sangat luas untukku menjadi dokter yang baik. Aku tetap mementingkan kuliahku karena apapun yang akan terjadi ilmu yang kupelajari selama satu tahun di FK UPNVJ tidak akan merugi.

Kemudian datang COVID-19. Pandemi ini mengingatkanku kembali arti memilih jalan menjadi dokter. Pentingnya peran dokter bagi bangsa, perlunya ilmu kesehatan masyarakat dan sistem pelayanan kesehatan negeri yang baik. 

Saat pandemi sudah mewabah ke indonesia, semua perkuliahan menjadi online, ini membawa petaka dan berkah. Petaka karena kita ditantang untuk adaptif dan pembelajaran kuliah online sangat tidak efektif dibanding kuliah offline. Berkah karena memberikan mahasiswa waktu untuk belajar lebih dengan caranya masing-masing di rumah. Aku lebih dapat mengimbangi antara kuliah dan pelajaran ujian masuk universitas.

Tahun 2020, aku hanya mengikuti SBMPTN dan SIMAK dengan pilihan hanya FKUI. Pilihan kedua kuambil jurusan yang sama ketatnya, aku tidak ingin pilihan kedua. Banyak sekali sistem ujian yang berubah tahun ini, siswa yang ingin masuk perguruan tinggi harus lebih cermat, adaptif, dan tidak putus asa dibanding tahun sebelumnya, SBMPTN dilakukan full dengan protokol kesehatan dan SIMAK dilaksanakan secara online di rumah masing-masing. Apapun situasinya, aku berusaha jujur dengan diri sendiri.

Sebelum waktu pengumuman hasil ujian masuk universitas aku tidak ada ekspektasi apapun, terlalu takut untuk kecewa. Juga, sebenarnya sudah bersyukur dengan apapun yang akan terjadi. “Yang penting sudah coba lagi” kataku melihat kata TETAP SEMANGAT di laman hasil SBMPTN. Doaku pada Yang Maha Kuasa, “jika memang keputusanku tahun 2019 hanya karenaMu, luluskanlah aku di FKUI reguler tahun ini”.

Selasa, 18 Agustus 2019, Jam 13.00. Membuka laman hasil SIMAK, hanya tangis yang menemaniku. Tangis bahagia dan tidak percaya, beberapa kali memuat ulang laman supaya yakin yang ditampilkan tidak salah. Kata SELAMAT terpampang di laman pengumuman. Ya, Tuhan memang adil. Hal yang paling membuatku bahagia adalah ketika mengabarkan ibu. Bahagia melihat orang tua bahagia. Kemudian rasa syukur membanjiriku, inilah jawaban dari doa-doa dan usahaku. Aku tidak akan menyia-nyiakannya, ini kesempatan keduaku.

Beberapa waktu setelah euforia usai, ada satu pertanyaan muncul di belakang kepalaku. “sekarang apa?”. Sekarang, titik awal pendakian lagi. Mengucapkan terima kasih dan selamat tinggal yang berat kepada keluarga FK UPNVJ, kini ada gunung yang lebih besar lagi untuk kudaki.

Harapanku setelah diterima sebagai mahasiswa FKUI 2020 adalah agar dimanapun aku berada, aku akan selalu berusaha yang terbaik. Aku berharap cita-citaku tercapai dan setiap langkahku membawa kebaikan. Aku berdoa untuk kebahagian dan kesehatan keluargaku. Aku menginginkan peningkatan kesehatan bangsa dan masyarakat. Terakhir, aku berharap mendapat teman-teman baik yang akan menemani perjuangan ini sampai akhir. 

Aku tahu perjalanan menjadi dokter tidak mudah. Pendakian yang baik hanya dapat terjadi dengan perencanaan yang baik. Sebagai mahasiswa pre-klinik tujuan utamaku adalah lulus tepat waktu, tidak ada pengunduran dan waktu yang sia-sia. Harus diusahakan, cum laude. Aku akan belajar dengan sebaik-baiknya, memastikan diri untuk selalu rendah diri akan ilmu, selalu bertanya ketika bingung dan hormat kepada guru siapapun.

Aku akan memanfaatkan waktuku di kampus untuk pengembangan diri, secara soft skill dan hard skill. Aku berencana untuk mengikuti organisasi AMSA, BEM, dan Rohis. AMSA karena ingin mengembangkan kemampuan leadership, public speaking, dan berkompetisi saintifik sehingga dapat bersaing di dunia internasional. BEM karena ingin mencari jejaring luas dalam kampus dan belajar bersosialisasi dengan siapapun. Rohis karena aku membutuhkan makanan hati untuk mengimbangi kesibukan duniawi. Aku akan belajar bagaimana mengimbangi waktu kuliah, organisasi, keluarga, dan personal. Aku akan berusaha untuk selalu menjaga diriku secara fisik dan mental tak peduli sesibuk apapun.

Sejujurnya, melampaui S1 pendidikan dokter rencanaku masih kabur. Aku pasti ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang spesialis, tapi apa?. Untuk saat ini aku punya beberapa pilihan, spesialis kulit dan kelamin, bedah plastik dan kedokteran kegawatdaruratan. Namun, aku belum yakin sampai dapat merasakan setiap stase saat koass. Kemudian aku berencana bekerja sebagai dokter klinisi, bertemu dan mengobati pasien memberikan perubahan secara langsung. Bahkan aku ingin mengabdi di ujung negeri, bila orang tua mengijinkan. 

Kurasa di setiap tahapnya, aku akan selalu belajar. Belajar hingga akhir hayat. Aku berpesan pada diriku di masa depan untuk selalu berjuang dan tidak menyesali apapun yang telah dilalui.

Pesanku bagi teman-teman yang ingin masuk FKUI.. tentukan tujuan dan panggilan hati. Bercita-cita boleh tinggi tapi ingatlah dengan tanggung jawab diri. Bermimpilah, rencanakan cara menuju kesana dan laksanakan.

Kejarlah FKUI bukan karena gengsi dan prestis. Bermimpilah ditemani usaha. Percayalah dengan takdir Yang Maha Kuasa. Tetaplah rendah hati. Berjuanglah dengan teman-temanmu. Terakhir yang paling penting, jangan lupa meminta doa kedua orang tua. 

Ada satu quotes yang menurutku ngena banget dengan lika-liku pengalamanku,

“Let go of the idea that things could have happened differently, as if this life is a Choose Your Own Adventure book and you simply turned to the wrong page. You did the best you could with what you knew—and felt—at the time. Now do better, knowing more. Keep moving.”A quote by @maggiesmithpoet (twitter)

Ini selalu mengingatkanku untuk menghidupi setiap hari dengan sebaik-baiknya dan jangan tinggalkan rasa sesal. Tidak ada yang salah dengan apapun yang sudah terjadi, takdir memang sering menertawai. Hari ini adalah masa depan dari kemarin, besok dimulai dari hari ini. Pesannya menampar diri sendiri juga hehe, mudah-mudahan sebagai pengingat selama pendakian panjang di depan mata.

Diterima 4 Kedokteran dan 1 Teknik di PTN. Ini Ceritaku.

*Viewer Discretion Is Advised*

Aku cukup beruntung untuk mendapat seluruh dukungan yang dibutuhkan untuk mendaftar ke universitas yang kuimpikan.

Diterima di beberapa kursi PTN dan hanya memilih satu merupakan hal yang disayangkan dan mubazir, namun perlu diingat sistem penerimaan mahasiswa baru di Indonesia belum sempurna.

Tulisan ini tidak disponsori, juga bukan untuk menyombongkan diri atau merendahkan calon mahasiswa baru lain. Melainkan, ini merupakan wadah untuk menceritakan pengalaman dan mudah-mudahan memberikan manfaat bagi pembaca.

Enjoy!

…………..

  • Prolog

Untuk benar-benar memahami cerita ini, kita harus balik lagi ke akhir SMP atau awal SMAku. Aku seorang anak peraih nilai UN SMP tertinggi di Sekolah Alam Indonesia ( Instagram : @sekolahalam_id ) memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di institusi yang sama, menolak mentah-mentah SMA 28, Pasar Minggu. Aku “nggak mau pakai seragam”, alasanku ke ibu.

Selama dua tahun sekolah, kuliah sama sekali nggak kepikiran. Terlalu menikmati projek-projek sekolah dan materi pembelajaran yang jauh dari sekolah konvensional. Akhirnya kepentok di kelas 12 awal, “gua pengen lanjut kemana?”. Walaupun ikut bimbel di Nurul Fikri saat kelas 11, pemahamanku tentang materi sekolah normal hampir mendekati nol (karena lebih sering bolosnya). Maka, tanpa pikir panjang ortu mendaftarkanku ke suatu bimbel di margonda yaitu Lavender dengan spesialisasi meluluskan siswanya ke PTN dan kalau boleh jujur nggak murah. Maka pada Bulan Agustus 2018, rutinitas pembelajaran kelas privat, tiga kali seminggu, pulang jam 9 malamku pun dimulai.

“Teknik lingkungan dan kedokteran”, cetusku ke ortu. Aku belum yakin mau pilih apa, kadang masih bolak balik sampai pilih teknik industri atau bahkan farmasi. Jadi yang perlu aku lakuin – riset. Searching berjam-jam tentang prodi-prodi tersebut, ikut Open House FK UI bulan Oktober 2018, pameran pendidikan dan konsultasi dengan kakak-kakak bimbel. Aku nggak menutup kemungkinan untuk jalan lainnya, kayak swasta atau beasiswa. Pernah tertarik untuk ikut beasiswa ke Singapura dari NUS atau beasiswa ke Jepang dari mitsui.

  • Proses Belajar

Di awal, progres belajar ku bisa dibilang menyenangkan dan lambat. Menyenangkan karena aku menikmati suasana belajar dengan guru-guru di  bimbel, aku seneng bisa belajar sesuatu yang menantang. Lambat, yhaa karena memang belum pernah belajar. Pemfaktoran matematika harus belajar dari awal, metabolisme belum pernah denger, tabel periodik nggak hafal, fisika mekanika… haaah apa?. Betul-betul dari awal.. satu bab bisa makan sebulan, tapi sayangnya aku nggak berani bilang ke guru. Jadi kalau ditanya, “Bab ini udah belum dipelajarin di sekolah?” atau “Di sekolah lagi bab apa?”, aku jawab dengan bingung, “lupa bu, diulang aja” atau “yang anu pak” atau “kita lanjutin bab kemarin aja”.  

Aku juga tidak seenaknya mengandalkan bimbel. Aku mencari-cari resources lain, seperti TO akbar, buku Detik-Detik, Zenius, Ruangguru, dan masih banyak lagi. Yah walopun lebih sering frustasinya, kalau harus nonton berjam-jam untuk nyelesain satu materi, ngeliat KJ melulu buat ngerjain soal, atau nilai TO akbar yang pilihan ketiganya aja nggak tembus. Apalagi kalau TO bimbel, ngerjain soal malem-malem sendirian, matematika c semua pula, pas dinilai sainteknya malah minus dong. Pokoknya langsung bad mood tiap liat hasil tryout.

  • Jatuh Bangun

Setelah masa-masa optimisme awal, masuklah masa kelam. Kesepian. Motivasi internalku udah habis, butuh support sistem. Berkali-kali nanya ke bimbel, “Kak, nggak ada apa anak yang mau masuk kelas bareng aku ?” dan selalu dijawab dengan “ntar pas belajar intensif juga banyak kok temennya, sabar aja”. Di sekolah pun tidak membantu, saat semester dua kelas 12 temen-temenku baru mulai belajar untuk UN, agak terlambat rasanya. Ditambah lagi, nggak semua punya tujuan PTN atau bahkan peduli sama UN, tujuan belajar temen-temenku beda-beda, semua punya rencana masing-masing. Agak selfish buatku untuk belajar  sendiri, tapi kaan nggak bisa maksain untuk bareng-bareng juga. Breaking point ku itu pas ngobrol bareng guru kelas, mengevaluasi pembelajaran selama 2,5 tahun dan keluarlah semua rasa frustasiku. Pada saat ini juga, aku membulatkan tekad kalo mau FK ya FK nggak bisa tuh ada pilihan lain yang bikin ragu.

Liburan semester, Desember 2018, aku berusaha bangkit. Beli buku mafikibi Wangsit dan ngabisin soal kemampuan dasar secara brutal. Melihat-lihat kampus, membuat Plan A, Plan B, dan Plan C. Ortuku nggak boleh aku rantau keluar jakarta, “sayang nak waktunya bareng ibu dan bapakmu”, okee.. ku mengiyakan. Jadi pilhannya adalah FK UI, FK UPNVJ, dan FK UIN. Semuanya ku datengi kampusnya, I guess at that time I accepted the reality bahwa ada kemungkinan aku nggak lolos di pilihan kampus idaman. Tapi aku nggak peduli, FK di PTN pun udah bersyukur daripada FK swasta yang ngeliat uang pangkalnya aja pengen nangis darah sambil jual dua ginjal. Ada satu opsi lagi yang aku lihat di Open House Kampus UI, yaitu FK kelas internasional (KKI). Pengalaman, kakak di Hukum kelas internasional, mungkin nothing to lose untuk dicoba. Lagian sebesar apa sih kemungkinan aku lulus dibandingin anak-anak SMA kurikulum ib atau cambridge?. Oh boy, how wrong I was.

Tahun baru, 2019. Resolusi tahun ini – ujian HAHAHA. Betulan loh, efektif belajar hanya 3 bulan dari januari 2019, April udah Ujian Sekolah, Mei Ujian Nasional, Juni SBMPTN, Juli Ujian Mandiri masuk universitas. 

Pas Bulan Februari udah ada drama SNMPTN. Hanya beberapa orang di kelas ku yang dapet kesempatan untuk bahkan hanya coba, itu pun ngurunysa susah banget. Pas mau finalisasi servernya down melulu, nggak tidur dua hari dua malam. Salah akunya juga sih.. kelamaan mikir. Pilihannya mau masukin FK UI atau FK UIN, kemungkinannya lebih besar UIN karena domisili sekolahku di tangerang selatan tapi aku pengen nyobanya UI. Rasanya aku udah sekuat tenaga nyiapin untuk SBMPTN, masa kalo keterima SNMPTN di UIN dengan nilai rapor pas-pasan nggak bisa nyoba Ujian SBMPTN sih. Jadi yaa.. dengan bodohnya aku masukin FKUI dan pastilah nggak dapet.

Pada saat ini, proses belajarku lumayan meningkat. Sangat maju di pelajaran biologi tapi muter-muter di fisika. Paling nggak kalo TO dapet lah 2-7 soal per mapel. Tingkat percaya dirikupun meningkat, terus senangnya mulai ketemu temen-temen bimbel karena kelasnya dicampur sama anak gapyear. Belajar utuk UN di sekolah lancar, teman-teman  sudah satu tujuan dan semangatnya bareng-bareng.

  • Ujian, Ujian, Ujian

Aku ujian sekolah selama dua minggu, tapi persiapan buat SBM nggak berhenti. Selang dua minggu dari ujian sekolah ada UN. Kemudian 5 hari setelah UN adalah Ujian UTBK pertama, hari sabtu tanggal 18 Mei. Betul-betul menantang untuk cari balances antara belajar, drilling soal, dan istirahat.

Seminggu setelah UTBK pertama, mulai intensif SBMPTN di bimbel. Ituu.. yang belajarnya betul-betul dari Jam 8 – 5 Senin sampe Sabtu. Hal yang aku suka? Ada temen sama ada makanan hehe. Rutinitas intensif tersebut aku jalani sekitar 4 minggu. Aku berusaha untuk selalu datang dan tidak bolos-bolosan. Sebosan apapun kelas tetep aku ikutin. Ngerjain wangsit membabi buta di malam harinya sambil cari-cari contoh soal UTBK.

Kemudian tanggal 13 April pun datang, UTBK kedua. Dengan rasa tenang dan percaya diri aku datang ke SMA 70 jakarta. I got this, or so I thought. Aku mengerjakan dengan sungguh-sungguh bahkan sampai triple check. Rasanya lebih pede pada bagian kuantitatif, fisika dan matematika. Beruntung, baru dua hari yang lalu guru bimbel membahas contoh soal UTBK dan mirip seperti yang keluar pas ujian.

Tidur siang setelah ujian itu terasa sangat damai.

Banyak hal yang terjadi di rentang waktu dari ujian UTBK kedua dan pengumuman SBMPTN. Sepuluh terakhir bulan ramadhan, lebaran, dan mudik. Tapi aku rasa, perasaan terbayang-bayang selalu ada di belakang kepalaku, rasa tidak ada kepastian mau lanjut kuliah dimana. 

  • Panik

Aku agak down setelah pengumuman nilai UTBK kedua, dibawah ekspetasi nilainya lebih rendah daripada ujian pertama. Jauh dari kata aman untuk FK. Aku panik. Segala kemungkinan aku pikirkan, aku daftar semua ujian mandiri, swasta pun aku cari. Tapi masalahnya dengan FK, bahkan perguruan swasta dengan akreditasi B bisa seharga satu mobil, jadi sebenernya enggan banget.

Ujian mandiri yang aku ikuti antara lain :

  1. UIN
  2. STAN
  3. IUP UGM
  4. SIMAK INTER
  5. SIMAK REG
  6. IPB (nilai utbk)
  7. ITB (niai utbk)

Capek? Banget. Apalagi ngurus dokumen-dokumen yang dibutuhin segitu banyaknya. Pergi ke yogya buat ujian. Keluar biaya ini itu.

  • Pengumuman dan SIMAK

Pengumuman pertama adalah hasil SBMPTN. Disini aku super pesimis. Yang penting kuliah pikirku. Pilihan pertama yang aku taruh adalah FK UPNVJ dan yang kedua Farmasi UIN. Rasa-rasanya aku bakal dapet pilihan kedua.. Rabu 9 juli 2019, 16.00 aku buka pengumuman dan sangat girang melihat SELAMAT ANDA LOLOS pada pilihan pertama.

Deep in the hearth I knew, I still want to pursue UI. 

Maka dari ituu, aku ikut ujian SIMAK KKI tgl 14 juli di Psikologi UI dan ujian SIMAK reguler tgl 21 juli di SMA 6 Depok, lagipula toh sudah bayar untuk ikut ujian. Aku tahu bakal berakhir complicated ketika mendapat email dari administrasi FKUI, Congratulation you pass the academic test for Faculty of Medicine International Class dan diundang untuk ujian interview. Seneng, gimana nggak seneng lolos ujian tulis UI coyy. Tapi aku enggan, aku enggan untuk melanjutkan karena aku tahu ada besar kemungkinan aku lolos. Jikalau aku lolos, pada saat itu juga aku sudah tahu bahwa aku tidak bisa ambil UI internasional.

Aku benar-benar merasa lebih baik ditolak mentah-mentah daripada diterima dan tidak bisa mendaftar. Orang tua tidak mengerti, “lanjutkan saja ujiannya kan bisa untuk cari pengalaman juga”, kata mereka meyakinkanku. Maka kuikuti, sehari setelah ujian simak reguler aku melaksanakan seluruh rangkaian ujian lanjutan simak internasional. Tes MMPInya di salemba dan interviewnya di depok.

Rabu tanggal 1 agustus, pengumuman SIMAK reguler. Kudapati SELAMAT, tapi hatiku hampa. Iya, karena walaupun aku diterima, aku dapat jurusan teknik lingkungan kelas pararel. Hampa, karena aku tahu pupus harapanku untuk masuk fk ui.

Jum’at tanggal 3 agustus, pengumuman ujian mandiri UIN. Aku berharap tidak diterima, tapi semesta berkata lain.. aku disuguhi kata SELAMAT lagi di pilihan pertama, kedokteran. Ada sedikit rasa bangga karena bisa lolos ujian tetapi opsi untuk masuk UIN langsung kucoret mentah-mentah. Pertama, lokasinya lebih jauh dari rumah dibanding UPN. Dua, akreditasinya sama-sama B dengan UPN. Serta Tiga, UKT persemesternya bisa mencapai 40 juta sangat jauh dari ukt yang sudah kubayarkan ke UPN.

Senin tanggal 5 agustus, pengumuman SIMAK KKI. Wajahku tersenyum walau sedikit, ucapan turut berbahagia masuk di handphone, kata SELAMAT terpampang di layar laptopku. 

Entahlah, bingung menjelaskan campur aduk hatiku. Sholat istikharah sudah seperti sholat 5 waktu, nangis juga udah sehari semalam, dan puncak ke galauanku ketika diajak ibu ke balairung untuk melihat daftar ulang maba UI… Kurasa aku mengambil keputusan saat shubuh tanggal 8 agustus.  Sore harinya adalah batas pembayaran UI internasional, 146 juta tagihannya. Aku beristikharah dan tergeletak di lantai kamar, bertanya pada diri sendiri apakah dapat mempertanggungjawabkan masa depanku jika mengambil FKUI kelas internasional? 

Sayang, jawabannya tidak. 

I guess writing this, even so abruptly is some form of therapy. I’m so tired of stress, happiness, excitement, and dissapointment that I don’t want to get in touch with my own feeling. The hardest part is to letting go, letting go of the dream you hold for these past year.. the destination that so close you can smell it but cannot have.

I feel like it’s fine that I didn’t pass FKUI regular class, I admit that there are plenty of people that is smarter than me.

But, the universe is so cruel to letting me get all of this and not be able to own the best of the options. I need to accept how things turned out, ignoring all the hate comments, losing my view of life perfect plan, and tell myself you’ve done so well. God knows what best for me and help me keep my strength to fight for another day.

  • Epilog

Selasa, 18 Agustus 2020.

Sudah hampir setahun sejak keputusan ku melepas FKUI KKI. Sebagai mahasiswa kedokteran tingkat 1 di FK UPN, aku mencoba ujian masuk universitas lagi. Tidak ada yang salah dengan posisiku sekarang, aku menikmati kuliah, hanya saja ternyata “masih penasaran”.

Hari ini pengumuman SIMAK reguler. Ujian tahun ini agak berbeda dibanding tahun lalu, online di rumah. Wabah pandemi corona sudah mengganggu kehidupan sehari-hari. Kuliah diliburkan sejak bulan maret 2020 dan kegiatan yang harus berkumpul diusahakan ditiadakan dulu.

Jam 13.00. 

Aku berdoa pada Yang Maha Kuasa, berdoa padaNya untuk diberi yang terbaik dan diberi kelapangan hati untuk menerima apapun yang akan terjadi. 

Maka, menangislah aku ketika melihat kata SELAMAT pada web penerimaan ui, “selamat anda dinyatakan sebagai calon mahasiswa baru Universitas Indonesia, program studi pendidikan dokter, program pendidikan S1 reguler”

……………

*Bukti Perjuangan*

Kepada Diriku di Masa Lalu

Kepada diriku yang baru duduk di kelas 12,

……………

Kamu akan mempertanyakan tujuan hidupmu

Kamu akan memusingkan rencana untuk merealisasikan mimpimu

Kamu akan menangis tiap malam lelah akan usahamu

Kamu akan mempertanyakan apakah yang kamu lakukan sudah benar

Kamu akan sangat egois hanya memikirkan masa depanmu

Kamu akan lupa untuk berjuang bersama teman-teman di sekitarmu

Kamu akan kehilangan teman-teman terdekatmu

Kamu akan lupa untuk menjaga kesehatan fisik dan mentalmu

Kamu akan tertutup dari orang-orang yang kau temui

Kamu akan secara perhalan mempercayai orang-orang tersebut

Kamu akan berdoa tak habisnya agar diberi kemudahan olehNya

Kamu akan berjuang mati-matian sampai titik darah penghabisanmu

Kamu akan mencapai tujuanmu

Kamu akan merelakan mimpimu

Kamu akan menemui lingkungan yang asing bagimu

Kamu akan menemukan teman baru, menjadi teman dekatmu

Kamu akan belajar banyak, banyak akan kehidupanmu

Kamu akan menemukan kembali mimpimu

Kamu akan berjuang kembali, berusaha untuk tetap mengambang

Kamu akan berpasrah padaNya

Hingga suatu hari…

Kamu akan menangis bahagia

Kamu akan bersyukur atas semua yang kamu lalui

Dan… kamu akan terus berusaha dalam setiap tahapan kehidupanmu

……………

– Dari dirimu di masa depan

That Feeling on Which You Keep Failing

it’s 8 pm, as I walked outside after a 3 hours study course, the dark of the night hugged me. 3 times a week I go to the course after 8 hours of school and ended up deadbeat every-single-time. This time I was exceptionally exhausted, and the thoughts came..

 

“so tired”

“wanna go home”

“what’s this all for?”

 

Start doubting my self

Feels as of standing on the edge of the cliff, just want to give up.

 

Good Things

Take Time

 

When I glanced at my phone and saw the words on the screen, I guess it kinda reminds me..

reminds me that all of this is worthed

reminds me that the process is beautiful

reminds me that it will get somewhere, eventually

just need to be a little bit patient, right?

Hi, I’m Stress

*This is a story about stress and how to deal with it*

 

Hi, I’m stress

 

I exist inside of you,

Little by little consuming YOUR will to live

Most of you are terrified of me,

But that’s because you don’t know who I am, what I can do.

So here’s a little introduction!

Yes, I am that one thing that troubles the hell out of you

Who grows bigger when you have problem

Always show up every time you feel overwhelmed by particular circumstances

I’ve affected the lives of millions of people around the world.

Most of which are you, teenagers or young adults

I gave them sadness, anxiety, depression or  well, suicide

 

Why teenagers, you ask?

Well, coz’ they’re dumb.

From 2007 to 2015 in the united states, the suicide rates for males and females aged 15 – 19 years old

increased by 31% and 50% respectively.

In 2015 alone,  there were 1537 suicides among males and 524 among females.

 

Too bad, huh?

 

That’s According to Centres for Disease Control and Prevention, though.

There’s no chance I’d keep count of these petty, trivial things I’ve done.

[Causes]

Anyway,

I’m usually nearby after you got bullied….

… or after you’re rejected…    

…or probably after you got scolded by your parents.

Oh, you poor little guy.

 

(( FUCK OFF, STRESS! ))

 

Chill out, dude. You want me to go away? Maybe later. But… Do you even know how to make me leave?

 

((NO I DON’T!))

 

okay… Well as a long-time acquaintance, I’ll tell you a few things.

 

First of all, you should search for good people and befriend them

Stop being antisocial, while it easier said than done

Talking to people you trust about me would make me really grossed out

I might just go away

If it’s too hard or if you’re to shy, then write!

You can just write a diary of your own

You can write about me and everything I do to you

I’d probably be embarrassed about it and leave you alone

Also, do some exercise!

You know, like swimming, cycling, running even dancing

Those activities make your head much clearer plus it makes your body healthier

It makes everything harder for me, though

 

But if you’re still troubled to do any of those

Then focus on these: do your prayer

Pray for better things to come and do good deeds to other

That way, a light will shine your way and extinguish my existence

……….

 

But, there’s a good thing in everything. So what’s in me?

 

Well…

 

I am the one that triggered.

Triggered the power to make a split-second decision,

The decision to fight or flight.

 

I am the one that dugout.

Dug out the motivation that was buried deep down.

 

I am the one who enhanced.

Enhanced both of your physical body,

And your cognitive mind.

 

……….

 

So, do you really want to get rid of me?

Yes, I did all those bad things.

I brought upon you the darkness into your mind.

And yet, I am also the one who strengthens you where you need it.

 

So whether I am the Devil who whispers “just end this suffering” in your ears.

 

Or the Angel who actually helps you in the times you needed.

 

That all depends on how you cope with me.

 

Sincerely, Stress

 

Written by:

Reyhan Arrilya

Rumaisha Nuha