Aku Rumaisha Nuha Zakiyyah, biasa dipanggil Nuha. Semester ini duduk di tingkat 1 mahasiswa kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Sebagai lulusan Sekolah Alam Indonesia, sekolah swasta nonkonvensional di Cipedak, Jakarta Selatan, rasanya tidak nyata bisa menginjakan kaki di kampus dan jurusan idaman ini. Buah perjuangan selama dua tahun, hingga akhirnya dapat membuka pengumuman SIMAK reguler UI dan mendapat kata SELAMAT.
Sejak dulu, UI memang tujuan tempat kuliahku, no question asked. “Lokasinya dekat dengan rumah, banyak pohon dan luas kampusnya” kataku saat umur 14 tahun. Memasuki kelas 12 pandanganku akan UI berubah, lebih fokus ke FKUI. Aku menetapkan hati untuk mengejar bangku kuliah di FKUI. Bagiku jika ingin mengemban pendidikan sebagai dokter maka kampus mana yang paling baik untuk melakukannya. Aku melihat bahwa FKUI mempunyai lingkungan yang beragam, kesempatan yang luas, dosen-dosen terbaik dan segala media pendukung untuk kegiatan pendidikan yang optimal. Keinginan ini semakin kuat ketika mengikuti Open House FKUI 2018.
Di kelas 12 pula, aku menentukan tujuanku. Tujuan yang akan penuh pengorbanan dan waktu yang lama. Aku menentukan untuk menjadi dokter, cita-cita paling cliché dengan tujuan menjadi orang bermanfaat. Namun, ada makna lebih dari itu. Salah satu memori kecilku adalah menemani ibu di klinik. Memerhatikannya berinteraksi dengan pasien dan ikut membantu menyiapkan obat, lebih sering malah ngerecokin sih. Sejak saat itulah aku menginginkan untuk mengikuti jejaknya, seorang dokter yang cerdas, sabar dan mampu memberi dampak dalam komunitas. Ditambah lagi, aku merupakan anak yang selalu penasaran. Tubuh manusia selalu menantangku untuk mencari pengetahuan baru dan memicu rasa ingin tahu.
Bagiku, menjadi dokter merupakan lebih dari karir tapi juga merupakan misi hidup. Mendedikasikan waktu belajar dan bekerja untuk mengabdi pada kemanusiaan. Bekerja demi kebaikan dan menjadikan setiap detiknya ibadah. “Jadi dokter itu hidupnya susah, sekolahnya lama, gajinya kecil” ibuku mengingatkan. Aku rasa itu risiko yang harus dijalani.
Usaha itupun ku lakukan. Tahap satu, masuk fakultas kedokteran. Yaa.. gimana jadi dokter kalau masuk sekolahnya aja belum. Jujur, selama di SMA pemahamanku akan materi sekolah (Matematika, Fisika, Biologi, Kimia) hampir nol. Pelajaran di sekolahku lebih project oriented dan jarang membahas materi sekolah pada umumnya. Maka, kelas 12 awal aku pun mengikuti bimbel.
“Ada 2 tahun pembelajaran yang harus dikejar, belum lagi persiapan ujian masuk universitasnya.. rasanya sulit” pikirku. Tapi, aku gak akan tau bisa atau tidak tanpa mencoba kan? Jadi rutinitas bimbel 3 kali seminggu sampai jam 9 malam pun kumulai. Mempelajari dari awal, awal banget kayak pemfaktoran, tabel periodik, metabolisme dan lain-lain. Sepanjang proses belajar, aku selalu berusaha untuk menanamkan growth mindset. Pemikiran bahwa suatu kemampuan siswa dapat berkembang asal mau berusaha, itu selalu menjadi penyemangatku dalam menghadapi kesusahan dalam memahami materi atau saat nilai tryout jeblok. Aku berusaha untuk mengingatkan diri bahwa setiap kesalahan merupakan bukti dari berproses.
Masuk ke semester 2 kelas 12, pemahamanku mulai meningkat nilai tryout juga sudah bukan yang paling bawah. Melewati ujian yang bertubi-tubi, tujuan dan usahaku diuji. Tidak jarang aku merasa meragukan diri atau lelah membaca materi. Apalagi, saat intensif ujian masuk perguruan tinggi 2 bulan sebelum SBMPTN dan SIMAK 2019.
Waktu-waktu ini tingkat stressku sangat tinggi, menutup diri dengan teman terdekat dan hanya berkutat dengan soal-soal. Terus menerus belajar, kesehatan fisik dan mental diriku bukan prioritas utama, suatu hal yang seharusnya tidak dilakukan. Tapi wajar sih, ujian ini akan menentukan masa depan apakah aku bisa mengemban ilmu di tingkat selanjutnya atau tidak. Apakah aku dapat meningkatkan kapasitas diri dan mendapat ruang di dunia pekerjaan atau tidak. Beruntung, aku punya support system yang baik. Guru-guru di bimbel selalu mengingatkan apa tujuan dari semua usaha belajar ini. Keluarga di rumah paham betul posisiku dan selalu menghibur. Orang tua tidak menumpukan beban jurusan atau universitas, mereka percaya dengan apapun pilihanku.
Satu persatu hari-H ujian datang. Aku melakukan setiap ujian sebaik mungkin, walaupun saking nervousnya setiap pagi sebelum ujian pasti sakit perut. Aku beruntung dapat mendaftar ke banyak ujian, mencoba jalur SBMPTN, SIMAK reguler, SIMAK KKI, dan Ujian Mandiri beberapa universitas lain. Aku tahu kemampuanku, aku bukan siswa terpintar, oleh karena itu aku butuh chances yang besar agar dapat lulus di fakultas kedokteran universitas manapun.
Musim pengumuman kelulusan perguruan tinggi 2019 mendatangkan perasaan campur aduk. Sebagian besar usahaku terbayar, sebagian besar lain juga tidak. Membuka pengumuman satu per satu. Tahun 2019, dari semua ujian yang kuikuti aku sangat bersyukur diterima beberapa jurusan dan universitas yaitu FK UPNVJ jalur SBMPTN, FTL UI jalur SIMAK reguler, FK UIN jalur mandiri, dan FK UI KKI jalur SIMAK KKI.
Ya, FK UI.
Ada rasa bangga dapat mencapai yang kuimpikan, namun ada rasa sedih yang mendalam. Ketika ujian wawancara SIMAK KKI aku ditanya oleh pewawancara, apakah akan memilih UI daripada UPNVJ jika diterima FK KKI. “Ya, pasti UI” jawabku saat itu tanpa ragu. Saat daftar ulang, aku ingkar.
Mengapa aku tetap melanjutkan mengikuti ujian wawancara SIMAK KKI jika memang pada akhirnya tidak diambil? aku egois, egois ingin mengejar mimpi walaupun tahu mimpi itu terlalu mahal untuk diraih. Aku bahkan sudah masuk grup angkatan 2019 dan berbicara dengan kakak tingkat FKUI 2018. Sayang, ini bukan jalanku.
Realisticly speaking, ada beberapa alasan mengapa aku memilih FK UPNVJ dibandingkan FK UI KKI setelah mendapat pengumuman. Satu, aku tidak ingin memberatkan kedua orang tuaku walaupun mereka menyanggupi penuh apapun pilihanku. Dua, aku mempunyai banyak pilihan alternatif kuliah. Terakhir, aku merasa tidak dapat mempertanggung jawab masa depanku di FK UI KKI.
Hatiku gundah, biarlah Allah swt yang mengarahkanku pada rencanaNya yang terbaik.
Satu semester kemudian aku jalani sebagai mahasiswa FK UPNVJ 2019. Aku mengikuti dari mulai ospek, mabim, dan kegiatan pembelajaran. Harus berenang di kehidupan per fk-an, aku melupakan FK UI. “Mungkin disini tempatku.. jadi dokter tidak peduli universitasnya, yang penting kualitasnya” sampai sekarang pun aku masih meyakini ini.
Tidak ada yang salah dengan FK UPNVJ 2019, pembelajaran lab sangat menarik, IPKku bagus, dan teman-temanku seperti keluarga. Aku belajar banyak disini. Namun, diselipan kegiatan kuliah sering kali muncul pemikiran mempertanyakan keputusanku. Aku tahu apa yang kupilih sudah kupilih dan aku hanya dapat melangkah maju, tetapi bohong kalau aku bilang tidak ada rasa sesal sedikit pun melepas FKUI.
Rasanya ada yang sangat mengganjal. Ya, mimpi itu yang ditinggalkan.
Maka, semester 2 bertepatan dengan masuk blok klinis pertama, aku mulai belajar lagi materi ujian masuk universitas. “Tidak ada salahnya kan mecoba lagi, lagipula seberapa besar sih kemungkinannya lolos”. Selain itu, aku ingin mencari ridha orang tua. Ibuku adalah orang tersedih ketika aku memutuskan tidak mengambil FK UI KKI walaupun ia sangat mengerti dan menghormati alasan keputusanku. Hanya karena doanya juga, aku bisa di posisi ini.
Satu kata untuk merangkum kuliah kedokteram sambil belajar SBMPTN/SIMAK : Nangis. Nangis banget atur waktunya, nangis banget capeknya, nangis banget motivasinya.. but I guess I endured.
Hari senin sampai jumat kuliah full day dari jam 7 pagi dan seringnya pulang jam 7 malam, belum lagi tugas. Kalau senin dan rabu pasti ada tugas tutor, sisanya ada tugas lab. Juga biasanya ada kegiatan kemahasiswaan sampai larut malam. Tidak ada ruang untuk belajar SBMPTN/SIMAK kecuali weekend. Maka sedikit waktu yang kupunya, kupakai sebaik-baiknya.
Oiya, aku tidak melepas kuliahku demi mengejar ujian masuk universitas lagi. Skala prioritasku kuliah masih pertama, diikuti belajar SBMPTN/SIMAK, dan terakhir kegiatan kemahasiswaan. Mengapa? Karena aku lebih ingin jadi dokter daripada jadi mahasiswa UI. Walaupun aku tidak naïve, aku tahu UI membawa kesempatan yang sangat luas untukku menjadi dokter yang baik. Aku tetap mementingkan kuliahku karena apapun yang akan terjadi ilmu yang kupelajari selama satu tahun di FK UPNVJ tidak akan merugi.
Kemudian datang COVID-19. Pandemi ini mengingatkanku kembali arti memilih jalan menjadi dokter. Pentingnya peran dokter bagi bangsa, perlunya ilmu kesehatan masyarakat dan sistem pelayanan kesehatan negeri yang baik.
Saat pandemi sudah mewabah ke indonesia, semua perkuliahan menjadi online, ini membawa petaka dan berkah. Petaka karena kita ditantang untuk adaptif dan pembelajaran kuliah online sangat tidak efektif dibanding kuliah offline. Berkah karena memberikan mahasiswa waktu untuk belajar lebih dengan caranya masing-masing di rumah. Aku lebih dapat mengimbangi antara kuliah dan pelajaran ujian masuk universitas.
Tahun 2020, aku hanya mengikuti SBMPTN dan SIMAK dengan pilihan hanya FKUI. Pilihan kedua kuambil jurusan yang sama ketatnya, aku tidak ingin pilihan kedua. Banyak sekali sistem ujian yang berubah tahun ini, siswa yang ingin masuk perguruan tinggi harus lebih cermat, adaptif, dan tidak putus asa dibanding tahun sebelumnya, SBMPTN dilakukan full dengan protokol kesehatan dan SIMAK dilaksanakan secara online di rumah masing-masing. Apapun situasinya, aku berusaha jujur dengan diri sendiri.
Sebelum waktu pengumuman hasil ujian masuk universitas aku tidak ada ekspektasi apapun, terlalu takut untuk kecewa. Juga, sebenarnya sudah bersyukur dengan apapun yang akan terjadi. “Yang penting sudah coba lagi” kataku melihat kata TETAP SEMANGAT di laman hasil SBMPTN. Doaku pada Yang Maha Kuasa, “jika memang keputusanku tahun 2019 hanya karenaMu, luluskanlah aku di FKUI reguler tahun ini”.
Selasa, 18 Agustus 2019, Jam 13.00. Membuka laman hasil SIMAK, hanya tangis yang menemaniku. Tangis bahagia dan tidak percaya, beberapa kali memuat ulang laman supaya yakin yang ditampilkan tidak salah. Kata SELAMAT terpampang di laman pengumuman. Ya, Tuhan memang adil. Hal yang paling membuatku bahagia adalah ketika mengabarkan ibu. Bahagia melihat orang tua bahagia. Kemudian rasa syukur membanjiriku, inilah jawaban dari doa-doa dan usahaku. Aku tidak akan menyia-nyiakannya, ini kesempatan keduaku.
Beberapa waktu setelah euforia usai, ada satu pertanyaan muncul di belakang kepalaku. “sekarang apa?”. Sekarang, titik awal pendakian lagi. Mengucapkan terima kasih dan selamat tinggal yang berat kepada keluarga FK UPNVJ, kini ada gunung yang lebih besar lagi untuk kudaki.
Harapanku setelah diterima sebagai mahasiswa FKUI 2020 adalah agar dimanapun aku berada, aku akan selalu berusaha yang terbaik. Aku berharap cita-citaku tercapai dan setiap langkahku membawa kebaikan. Aku berdoa untuk kebahagian dan kesehatan keluargaku. Aku menginginkan peningkatan kesehatan bangsa dan masyarakat. Terakhir, aku berharap mendapat teman-teman baik yang akan menemani perjuangan ini sampai akhir.
Aku tahu perjalanan menjadi dokter tidak mudah. Pendakian yang baik hanya dapat terjadi dengan perencanaan yang baik. Sebagai mahasiswa pre-klinik tujuan utamaku adalah lulus tepat waktu, tidak ada pengunduran dan waktu yang sia-sia. Harus diusahakan, cum laude. Aku akan belajar dengan sebaik-baiknya, memastikan diri untuk selalu rendah diri akan ilmu, selalu bertanya ketika bingung dan hormat kepada guru siapapun.
Aku akan memanfaatkan waktuku di kampus untuk pengembangan diri, secara soft skill dan hard skill. Aku berencana untuk mengikuti organisasi AMSA, BEM, dan Rohis. AMSA karena ingin mengembangkan kemampuan leadership, public speaking, dan berkompetisi saintifik sehingga dapat bersaing di dunia internasional. BEM karena ingin mencari jejaring luas dalam kampus dan belajar bersosialisasi dengan siapapun. Rohis karena aku membutuhkan makanan hati untuk mengimbangi kesibukan duniawi. Aku akan belajar bagaimana mengimbangi waktu kuliah, organisasi, keluarga, dan personal. Aku akan berusaha untuk selalu menjaga diriku secara fisik dan mental tak peduli sesibuk apapun.
Sejujurnya, melampaui S1 pendidikan dokter rencanaku masih kabur. Aku pasti ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang spesialis, tapi apa?. Untuk saat ini aku punya beberapa pilihan, spesialis kulit dan kelamin, bedah plastik dan kedokteran kegawatdaruratan. Namun, aku belum yakin sampai dapat merasakan setiap stase saat koass. Kemudian aku berencana bekerja sebagai dokter klinisi, bertemu dan mengobati pasien memberikan perubahan secara langsung. Bahkan aku ingin mengabdi di ujung negeri, bila orang tua mengijinkan.
Kurasa di setiap tahapnya, aku akan selalu belajar. Belajar hingga akhir hayat. Aku berpesan pada diriku di masa depan untuk selalu berjuang dan tidak menyesali apapun yang telah dilalui.
Pesanku bagi teman-teman yang ingin masuk FKUI.. tentukan tujuan dan panggilan hati. Bercita-cita boleh tinggi tapi ingatlah dengan tanggung jawab diri. Bermimpilah, rencanakan cara menuju kesana dan laksanakan.
Kejarlah FKUI bukan karena gengsi dan prestis. Bermimpilah ditemani usaha. Percayalah dengan takdir Yang Maha Kuasa. Tetaplah rendah hati. Berjuanglah dengan teman-temanmu. Terakhir yang paling penting, jangan lupa meminta doa kedua orang tua.
Ada satu quotes yang menurutku ngena banget dengan lika-liku pengalamanku,
“Let go of the idea that things could have happened differently, as if this life is a Choose Your Own Adventure book and you simply turned to the wrong page. You did the best you could with what you knew—and felt—at the time. Now do better, knowing more. Keep moving.” – A quote by @maggiesmithpoet (twitter)
Ini selalu mengingatkanku untuk menghidupi setiap hari dengan sebaik-baiknya dan jangan tinggalkan rasa sesal. Tidak ada yang salah dengan apapun yang sudah terjadi, takdir memang sering menertawai. Hari ini adalah masa depan dari kemarin, besok dimulai dari hari ini. Pesannya menampar diri sendiri juga hehe, mudah-mudahan sebagai pengingat selama pendakian panjang di depan mata.