A day as Medical Student, A lifetime of struggle

struggle – verb

struggled; struggling ˈstrə-g(ə-)liŋ 

1 to make strenuous or violent efforts in the face of difficulties or opposition

2 to proceed with difficulty or with great effort

…………………………………….

“boleh mau pinjem jakunnya kak?” ucap dua anak peserta kegiatan workshop a day as a medical student dalam rangkaian HUT IMERI ke 6 tahun. Mereka mau berfoto di depan gedung putih FKUI salemba, hal sama yang aku lakuin 4 tahun lalu. How time goes by, how much i’ve grown.

Hari ini aku berkesempatan menjadi Liason Officer (LO) teman-teman peserta acara tersebut. Menemani sekitar 30an anak SMP-SMA tur ke berbagai departemen di IMERI FKUI dan melakukan simulasi se-akan-anak menjadi mahasiswa kedokteran. “Jujur ga pede” ucap aku ke temenku, sebut saja E, sehari sebelum acara itu. “Ga pede” in a way aku gak merasa cukup pantas merepresentasikan seorang mahasiswi FKUI. Walaupun begitu ada satu alasan aku tetep daftar jadi LO: pengen melihat wajah-wajah bahagia, excited, dan semangat adek-adek SMA untuk masuk FKUI dan semoga diprosesnya bisa ketularan. I need that strength.

Sekitar jam 08.00, tur dilakukan dimulai dengan simulasi Team Based Learning (TBL) mengenai kasus COVID-19. Setelah melakukan absensi peserta aku menyempatkan melihat sedikit apa yang dilakukan peserta saat TBL tersebut. Ternyata lumayan menantang ya soal-soal yang dibuat oleh departemen medical education. Selama ini TBL yang pernah aku lalui kebanyakan lewat zoom dan biasanya aku sambil setengah tidur. Cuman pernah sekali TBL yang bener-bener offline dan seru, yaitu pas modul klinik terakhir, modul infeksi tropis, semester lalu.

Kemudian tur beralih ke “praktikum anatomi” atau setidaknya mirip seperti praktikum anatomi. Di tur ini peserta melakukan simulasi praktikum anatomi di I-Museum IMERI, didahului dengan kuliah pendahuluan dan mengobservasi sediaan yang ada. Agak lucu melihat wajah-wajah kosong anak SMP-SMA belajar terminologi dasar anatomi, lucu karena sama dengan wajahku saat kuliah pertama, hari pertama, tentang anatomi di FKUPNVJ. Terminologi latin yang dulu harus aku warnai gambarnya dengan pensil warna sekarang sudah bagaikan makanan sehari-hari. Kelompok pesertanya dibagi-bagi jadi kelompok yang lebih kecil lagi dan tiap kelompok mempelajari satu sistem organ spesifik. Membaca tilikan tiap kelompok aku cuma kepikiran, “wah, ternyata aku udah sempet belajar semuanya ya”. Kelompok-kelompok kecil itu dibimbing oleh anak FKUI angkatan dibawahku yang memberikan penjelasan tentang tiap sediaan yang ada. Sekitar semester lalu pun, aku pernah jadi guide di I-Museum membimbing anak-anak maba FKUIN, even tho tbh, aku ga segitu ngerti dengan apa yang aku jelasin.

Tur lalu berlanjut ke DLKC, lt.10 IMERI, pada dasarnya perpustakan. Aku kurang merhatiin peserta ngelakuin apa disini tapi kayaknya berkaitan dengan cara pencarian literatur medis. Hal yang nggak terlalu aku sukain sampe sekarang.

Jam 13.00, setelah istirahat siang, tur berlanjut ke salah satu bagian favoritku sebagai mahasiswa FK: Simulasi KKD/Skills lab di SIMUBEAR IMERI. Disini peserta belajar cara pemasangan NGT, cara pemeriksaan DJJ, Leopold, dan Asuhan Kelahiran Bayi. Selain itu, ada banyak alat-alat atau manekin yang super hightech untuk segala latihan tindakan medis. Walaupun horror dan sport jantung, jujur ujian KKD ini atau OSCE adalah ujian yang paling aku sukai selama di FK.

Terakhir, ada sesi departemen center of learning yang membahas mengenai optimalisasi online learning pada sistem pendidikan FKUI. Peserta diberi pemahaman mengenai konsep andragogi serta melakukan simulasi interactive online learning. Sebagai angkatan COVID dan full online, I couldnt relate more dengan apa yang dibahas.

In conclusion, it was a fun day, tiresome but happy indeed. Selain harus menggiring anak-anak cilik bulak balik naik lift dan tangga IMERI, sisanya LO cukup duduk manis menunggu peserta selesai kegiatan di tiap-tiap pos. Aku juga berkesempatan ngobrol dan sharing-sharing tentang sistem pendidikan FKUI secara umum dan pengalaman masuk ke FKUI. Selama kegiatan, sangat menghibur ngeliat muka-muka peserta yang tadinya semangat, berubah jadi pusing, bingung, tertarik, dan lelah. Mereka cuma sehari loh jadi mahasiswa FK, gimana kita yang setiap hari.

…………………………………….

It’s not always rainbow and roses, It’s more like a lifetime of struggle. What importances is to remember your “why” when all hope is lost. The thing is.. I kind a lose that reason for a while

“Siapa disini yang masuk FK karena disuruh orang tua?”, entah udah berapa kali aku denger pertanyaan ini dan tiap kalinya aku gak pernah tunjuk tangan. Karena memang gak ada yang pernah maksa aku disini kok. Aku berjuang untuk masuk karena benar-benar aku ingin menjadi dokter yang bisa bantu orang banyak, karena aku tertarik dengan fisiologi tubuh manusia, karena yaa.. ini FKUI, siapa yang gak mau masuk. Atau, iya kah?

Just recently, I’ve coming to terms that.. oke, emang kamu masuk FK karena motivasi internal, but how about your need of your mother affirmation? there must be a bit of that too isn’t it?. And that.. how I lost it:

Kamu beneran mau jadi dokter apa gara-gara ibu mu?; Kamu mau lanjut PPDS?; segini aja udah mau meninggal terus kedepannya gimana? gabakal jadi lebih gampang loh; Emang ada potensi karirnya?; Mau work-life balances kayak apa?; Mau ngabdi terus?; Capek loh, yakin?; Jadi dokter susah; Kamu gak pinter -pinter banget; Sama sekali gak berprestasi; Gak bisa ngomong; Gak ada paras; yakin mau jadi dokter?

All of that, on and on again, in my own head. No one pressuring me, other than me. Until it comes to: “buat apa sih ngusahain apa yang emang gabisa diusahain”. Which is absolutely a stupid logic, but hey our minds are weird anyway.

So here it is, me searching for my “why again” to keep going, to not drown: Aku mau membantu orang lain. Aku mau bisa menyembuhkan pasien. Aku mau jadi dokter ternama. Aku mau menemukan ground breaking treatment or somesort. Aku mau sukses. Aku mau membanggakan orang tua. But, the only one that really sticks is: Aku gak mau mengecewakan diriku yang berfoto di depan Gedung Putih FKUI itu di tahun 2019.

Apapun yang sudah terjadi, the highs and the lows, it carves who you are now and the struggle will not end, so the only option is keep going. Udah banyak banget materi kedokteran yang kamu pelajari, berbagai kegiatan kemahasiswaan yang kamu ikuti, teman-teman yang kamu temukan, guru-guru/dosen-dosen yang walaupun mereka gak inget namamu ilmunya sangat berharga. So, don’t waste that.. please.

…………………………………….

Kalo bisa ngomong ke peserta acara hari ini, aku bakal bilang “gak usah dek, tidak seindah yang dibayangkan”. Tapi aku gak tega, melihat senyum itu, di depan gedung putih itu, jakun itu, aku pernah bermimpi juga. So, ini saatnya menghidupi mimpi itu.